Aplikasi Pilkada / Software Pilkada Terbaik Untuk memenangkan Pilkada 2020

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Karena Setitik Nila Rusak Opini WTP

  • Oleh Nazir Amin
  • 29 Mei 2017 - 08:42 WIB

BORNEONEWS, Pangkalan Bun - OTT KPK, Jumat (26/5/2017), apa boleh buat, telah meruntuhkan kepercayaan atas penilaian Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. Setidaknya, ada keraguan pada pemberian status kewajaran informasi laporan keuangan Kementerian Desa Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigrasi 2016. Ibaratnya, karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Karena kasus itu, kita tak lagi sepenuhnya percaya pada kemurnian opini BPK.

Kita tahu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat (26/5/2017), menangkap sejumlah orang dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT). Yang diberangus itu, tidak main-main; seorang auditor utama, yang juga pejabat eselon satu BPK, dan seorang auditor, keduanya yang berhak memberikan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan. Lalu, Sugito, Inspektur Jenderal (Irjen) Kementerian yang dipimpin Menteri Eko Putro Sandjojo. 

Begitu tingginya posisi, dan kewenangan Irjen dalam bidang pengawasan pada sebuah lembaga pemerintahan, Menteri Eko Putro Sandjojo mengaku tidak percaya Sugito terlibat dalam kasus ini. Apalagi, karena seperti kata KPK, penangkapan tersebut terkait pemberian status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) pada laporan keuangan Kementerian Desa.

"Saya tadinya tidak percaya, saya juga katakan seluruh pegawai di depan Pimpinan KPK, bahwa KPK berhak mengaudit seluruh satuan kerja kapan saja, tujuannya melakukan pencegahan. Pak Irjen sangat keras memberantas korupsi, dia juga punya ide saber pungli (sapu bersih pungutan liar), satgas," papar Eko.

Istilah WTP

WTP adalah singkatan dari Wajar Tanpa Pengecualian. Ini dikeluarkan auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI terhadap laporan keuangan sebuah lembaga pemerintahan, sampai ke daerah-daerah. Sesuai amanat konstitusi, audit atas laporan keuangan lembaga negara dilakukan oleh BPK. Nah, BPK akan memberikan opini WTP kepada suatu lembaga atau kementerian jika transaksi penggunaan anggaran tidak ada yang mencurigakan.

Istilah WTP ada dalam Pasal 16 UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Negara. Berdasarkan Undang-Undang ini, Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas laporan keuangan pemerintah memuat opini. Selain itu, pemeriksa juga mengeluarkan temuan, kesimpulan, dan rekomendasi untuk LHP atas kinerja. Sedangkan LHP dengan tujuan tertentu memuat kesimpulan.

Opini merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan. Ada empat kriteria yang dipakai pemeriksa: (i) kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan; (ii) kecukupan pengungkapan; (iii) kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan; dan (iv) efektivitas sistem pengendalian intern.

Dalam dunia internasional, sedikitnya ada empat jenis opini yang dikenal untuk pemeriksaan keuangan. Yang paling dasar, pernyataan menolak memberikan opini, lazimnya disebut disclaimer. Ini yang paling dihindari. Lalu, opini tidak wajar (adversed opinion) dan opini wajar dengan pengecualian (qualified opinion). Yang tertinggi, Wajar Tanpa Pengecualian atau WTP (unqualified opinion). Dalam WTP, auditor menyatakan laporan keuangan yang diperiksa disajikan berstandar akuntansi yang berlaku umum.

Opini WTP menjadi buruan, karena dinilai bergengsi. Lembaga, kementerian, atau pemerintah daerah yang meraih predikat itu, merasa telah dibaptis sebagai sesuatu yang bersih. Jangan heran kalau ada banyak yang mengumumkannya lewat berbagai cara, termasuk dengan spanduk, agar khalayak membaca pencapaian itu.

Sebaliknya, jika meraih disclaimer, mereka merasa sepertinya arang telah tercoreng di wajah nan bopeng. Bahkan, predikat di bawah WTP pun dianggap aib yang harus dibuang jauh-jauh. Karena itu, masuk akal kalau ada saja yang mau menempuh berbagai cara untuk meraih predikat WTP, seperti dilakukan Kemendes PDTT, setidaknya berdasarkan temuan KPK itu.   

  

Bubur jadi kerak

Apapun, bubur sudah jadi kerak; OTT terhadap Irjen Kementerian Desa itu, sudah terjadi. Dan sejauh yang kita tahu, kasus OTT KPK senantiasa sukses membawa para tersangka ke pengadilan, sampai mendapat hukuman penjara. Tanpa mendahului kehendak Allah SWT, Sugito dan kawan-kawan juga bakal dihukum, sesuai kesalahannya.

Persoalannya sekarang, BPK perlu menjelaskan prosedur, dan tata cara sampai keluarnya opini WTP untuk laporan keuangan kementerian, lembaga, sampai pemerintah daerah. Bukan apa-apa. Tertangkapnya pejabat dan auditor utama BPK, Irjen Kementerian Desa, dan pihak lainnya atas kasus pemberian opini WTP Kementerian Desa itu, sangat mungkin telah menimbulkan ketidakpercayaan pada kesahihannya. 

Implikasi lebih luas, pemberian Opini WTP dari BPK untuk semua lembaga pemerintah, sampai ke daerah-daerah, apa boleh buat, patut dicurigai prosesnya. Jangan-jangan seperti yang diperoleh Kemendes itu, diwarnai suap. Kalau sudah seperti itu, siapa yang akan percaya atas keabsahan produk BPK itu.

Harian Kompas, Minggu (28/5/2017), memajang HL di halaman satu; Opini BPK Diwarnai Korupsi. Berita utama itu menuliskan, Opini Wajar Tanpa Pengecualian dari Badan Pemeriksa Keuangan dalam audit laporan keuangan lembaga pemerintah diwarnai penyuapan. Karena itu, BPK dituntut mereformasi total tata kelolanya dalam mengaudit laporan keuangan lembaga pemerintah.

Bukan yang pertama

Malah, dalam harian yang sama, judul tulisan Riana Ibrahim menegaskan adanya permainan busuk itu; Jual-Beli Status WTP BPK, dari Puluhan Juta hingga Miliaran Rupiah. 

Artikel itu mengungkap, jual-beli opini BPK bukan hal baru. Beberapa kali para auditor BPK meraup untung dari menjajakan status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atau status Wajar Dengan Pengecualian (WDP) kepada sejumlah lembaga negara yang membutuhkan. Bayangkan sodara-sodara; yang membutuhkan.

'Mendapatkan status tersebut dari BPK memang berdampak besar pada lembaga negara atau pemerintah daerah terkait. Kepercayaan publik meningkat, reformasi birokrasi dianggap berhasil. Sehingga modus suap pun dihalalkan,' kata peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Hendri, di Jakarta, Sabtu (27/5/2017).

Seperti hukum ekonomi, para auditor negara itupun memanfaatkan momen ini. Karena banyak permintaan, sebagian di antaranya tak lagi menjaga integritas. Mereka menggadaikan profesionalisme, dan juga harga diri untuk sejumlah rupiah tertentu, dalam mengobral status opini lembaga pemeriksa keuangan, yang seharusnya dijaga sepenuh-penuhnya kebanggaan.

Dan data yang ada menunjukkan, kejadian di Kemendes itu, bukan yang pertama. Pada 2010, dua auditor BPK Jawa Barat, Enang Hernawan dan Suharto dijatuhi vonis empat tahun penjara. Mereka terbukti menerima suap Rp400 juta dari Wali Kota Bekasi Mochtar Mohammad, dengan maksud memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Bekasi 2009.

Yang baru, 2016, bekas auditor BPK Sulawesi Utara, Bahar, dihukum 5 tahun 6 bulan penjara. Ia disebut pernah meloloskan Laporan Hasil Pemeriksaan sejumlah pemerintah kabupaten (pemkab) dan pemerintah kota hampir di seluruh Sulawesi Utara. Para pejabat pemkab atau pemkot tersebut pun dimintai dana hingga Rp1,6 miliar.

Tetap membanggakan

Rencananya, sejumlah pemerintah daerah di Kalimantan Tengah akan menerima penghargaan penilaian auditor Badan Pemeriksa Keuangan RI, di Palangka Raya, Senin (29/5/2017). Opini penilaian atas laporan keuangan tahun 2016 itu, akan diserahkan oleh BPK RI Perwakilan Provinsi Kalimantan Tengah, atas nama BPK RI, dalam sebuah seremoni. 

Tanpa bermaksud mengecilkan penilaian dari lembaga negara itu, kita berharap para penerima predikat dari BPK tersebut, tetap tersenyum puas, sampai seringainya terbuka selebar-lebarnya. Terutama jika tidak ada transaksi fulus untuk memperolehnya. Sepanjang itu diraih karena prestasi dalam menyelenggarakan pemerintahan yang bersih, dan akuntable, silahkan saja sumringah.

Bagaimanapun, Opini BPK itu, apalagi setingkat WTP, tetap membanggakan. Jadi, tetaplah mengumumkannya kepada khalayak. Buatlah spanduk, dan sebarkan secara luas agar masyarakat mengetahui kabar gembira itu. Tetapi, sekali lagi, semuanya diperoleh tanpa praktik suap kepada auditor.  

Satu hal, mantan Kepala BPK, Hadi Purnomo dalam pertemuan dengan kalangan jurnalis, 19 Juli 2012, pernah mengingatkan, adanya persepsi salah yang hidup di tengah-tengah masyarakat, tentang opini WTP. Bekas Dirjen Pajak itu, menyampaikan, jangan sampai masyarakat menganggap status WTP lembaga negara pusat dan daerah itu, sebagai jaminan 'bersih' dari penyimpangan dan korupsi.

'Pemeriksaan laporan keuangan tidak ditujukan secara khusus untuk mendeteksi adanya korupsi,' tegas Hadi Purnomo seperti dikutip dari Hukumonline, 1 Agustus 2012.

Jangan pula lupa ironi Opini WTP yang diperoleh Kementerian Agama, Juni 2012. Hanya beberapa hari setelah itu, KPK membongkar korupsi pengadaan kitab suci Alquran di kementerian ini. Bekas menterinya, seorang mantan pemimpin partai politik kini menjadi pesakitan di hotel prodeo.

Jadi, begitulah, pemberian predikat itu, bukan jaminan sebuah lembaga, termasuk pemerintah daerah, telah bersih dari penyelewengan, dan korupsi. Ini kata Hadi Purnomo ya.

Penting diingat lagi, Opini dari BPK RI itu, merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan. Meski begitu, sepanjang tak ada transaksi haram dalam meraihnya, tetap saja wajar jika rasa bangga tetap membuncah dalam dada siapapun yang meraihnya dengan jujur.

Dan satu lagi, tetap banggalah karena tak ikut menjadi nila setitik yang merusakkan susu sebelanga-nya BPK RI. (NAZIR AMIN/WARTAWAN BORNEONEWS/B-2).


TAGS:

Berita Terbaru