Aplikasi Pilkada / Software Pilkada Terbaik Untuk memenangkan Pilkada 2020

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Sawit Komoditas Strategis Layak Dibela Bukan Dimaki

  • Oleh Inilah.com
  • 02 September 2020 - 15:50 WIB

INILAHCOM, Jakarta - Popularitas kelapa sawit sebagai komoditas strategis sepertinya belum cukup membungkam hujatan, makian, isu, dan fitnah dari stakeholders anti sawit lokal dan global.

Komoditas dengan julukan incredible tree ini masih saja diserang dan dituding sebagai komoditas bernilai minus.

Ibarat peribahasa bau busuk tak berbangkai, negative issues terhadap kelapa sawit tersebut satu per satu berganti menjadi boomerang yang kembali kepada tuannya. Semakin diserang, industri perkebunan kelapa sawit Indonesia justru semakin show off dengan menyajikan fakta dan data empiris yang bersifat continue dan extensible. Demikian dikatakan Muhamad Ihsan, CEO dan Chief Editor Warta Ekonomi, yang kerap melakukan kampanye positif sawit, baik di Jakarta, daerah, maupun luar negeri.

Menurut Ihsan, setiap warga negara Indonesia wajib membela sawit karena nilai-nilai strategisnya. "Sebab sawit memberi manfaat bagi sekitar 17 juta sampai 25 juta masyarakat Indonesia yang bekerja di industri ini, baik langsung maupun tak langsung. Belum lagi dari berbagai multiplier effect yang ditimbulkannya," ujar Ihsan, yang juga menjabat sebagai Bendahara PWI Pusat.

Dari sisi ekonomi, pada 2019 misalnya, Indonesia membukukan defisit neraca perdagangan US$3,2 miliar. Tapi ekspor minyak sawit dan turunannya justru menyumbangkan pendapatan positif US$20 miliar. Hal ini sudah berjalan selama bertahun-tahun. Pada 2015, sawit menyumbangkan US$15,3 miliar, lalu pada 2016 sebesar US$17 miliar, 2017 sebesar US$22,9 miliar, 2018 sebesar US$ 22,3 miliar, dan 2019 mencapai US$22,4 miliar.

Maka, rasanya tidak berlebihan kalau minyak sawit dinobatkan sebagai industry strategis. Belum lagi kalau dilihat dari sisi tenaga kerjanya. Gapki (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) mencatat bahwa sawit tempat bergantung 17,5 juta orang karyawan perusahaan dan petani.

Sementara Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) mencatat, ada 4,2 juta tenaga langsung dan 12 juta tenaga kerja tidak langsung di industry sawit, serta melibatkan 2,4 juta petani swadaya dan 4,6 juta pekerja.

Daftar ini akan bertambah panjang kalau kita juga menghitung multiplier effect-nya. Misalnya saja, dampak terhadap industri makanan di sekitar perkebunan dan pabrik, hotel, industri keuangan, dan lain-lain. Belum lagi kalua kita melihat kota-kota yang tumbuh sebagai akibat logis dari pembangunan ekosistem perkelapasawitan. "Ibarat penemuan minyak fosil di masa lalu, kota-kota di sekitarnya akan ikut tumbuh dan berkembang," tegas Ihsan.

Dalam konteks ini, lanjut Ihsan, tampaknya Indonesia harus menjaga seluruh ekosistem sawit. Salah satunya adalah menjaga stabilitas harga agar petani (41% pemilik lahan sawit Indonesia) dan perusahaan bisa menjaga keberlangsungan industry ini. Jujur, harus diakui Presiden Jokowi cukup cerdik Ketika memutuskan untuk mengimplementasikan penggunaan sawit dalam bahan bakar nabati (BBN).

Kini, Indonesia tercatat sebagai negara yang paling agresif mengimplementasikan BBN, di mana saat ini Indonesia sudah mencapai B-30. Saingan terdekat, Malaysia baru mencapai B-10.

Berita Terbaru