Aplikasi Pilkada / Software Pilkada Terbaik Untuk memenangkan Pilkada 2020

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Pakar: Laporan ASN Langgar Netralitas Posisinya Patut Diduga

  • Oleh ANTARA
  • 01 November 2020 - 22:10 WIB

BORNEONEWS, Bogor - Pakar Komunikasi Politik Emrus Sihombing menilai aparat sipil negara (ASN) yang dilaporkan sebagai melanggar netralitas posisinya adalah patut diduga dan belum pasti bersalah.

"Kalau ada ASN yang dilaporkan atas tuduhan melanggar netralitas, itu belum pasti bersalah. Harus berlandaskan azas praduga tidak bersalah. Bisa saja orang lain melihat ASN itu melanggar, padahal belum tentu melanggar," kata Emrus Sihombing melalui telepon selulernya, Minggu.

Emrus Sihombing mengatakan hal itu menjawab pertanyaan pelanggaran netralitas pada ASN dan sanksi yang diberikan oleh pejabat pembina kepegawaian (PPK) pada Pilkada serentak tahun 2020.

Pengajar pada Universitas Pelita Harapan Jakarta itu menuturkan, ketika ada dugaan ASN melakukan pelanggaran netralitas, tidak salah kalau dilaporkan ke Komisi ASN (KASN), tapi tidak semua laporan itu harus ditindaklanjuti.

"Kalau laporan itu lemah, tidak ada bukti-bukti, dan dari hasil verifikasi oleh KASN, ternyata ASN yang dilaporkan tidak melanggar netralitas, maka tidak harus ditindaklanjuti," kata doktor Komunikasi Politik dari Universitas Pajajaran Bandung ini.


Kalau ASN yang dilaporkan itu benar melanggar netralitas, Emrus berharap KASN memprosesnya secara transparan dan profesional.

Menurut Emrus, jika laporan adanya pelanggaran netralitas ASN ada bukti-bukti dan setelah diverifikasi ternyata terbukti, hendaknya prosesnya dibuka ke publik fakta dan datanya. "Meskipun identitas dan inisial namanya tidak dibuka tapi fakta dan datanya agar dibuka, sehingga publik bisa melihatnya secara jernih," katanya.

Sementara itu, berdasarkan data Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), hingga 31 Juli 2020, terdapat 456 ASN dilaporkan karena diduga tidak netral dalam pemilu.

Dari jumlah tersebut, 27,6 persen ASN teradu adalah pejabat pimpinan tinggi, 25,4 persen pejabat fungsional, dan 14,3 persen pejabat administrator.

Pelanggaran yang diduga dilakukan juga bermacam-macam, yakni 21,5 persen melakukan pendekatan ke partai politik terkait pencalonan diri sendiri atau orang lain sebagai bakal calon kepala/wakil kepala daerah; 21,3 persen melakukan kampanye di media sosial; kemudian 13,6 persen mengadakan kegiatan yang mengarah pada keberpihakan ke salah satu pasangan calon.

Berita Terbaru