Aplikasi Pilkada / Software Pilkada Terbaik Untuk memenangkan Pilkada 2020

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Meluruskan Proyek Deradikalisasi

  • 27 Maret 2016 - 20:21 WIB

PASCA peristiwa bom di Jalam MH Thamrin Jakarta, dan rentetan peristiwa serupa di tingkat global, pemerintah seolah menemukan momentum untuk kembali menghidupkan proyek deradikalisasi. Program deradikalisasi merupakan upaya untuk mengubah sikap dan cara pandang yang dianggap keras (julukan lain; fundamentalis) menjadi lunak; toleran, pluralis, moderat dan liberal. 

Hasil akhir yang ingin dicapai dari program deradikalisasi adalah terbentuknya cara pandang dan pemahaman keagamaan yang toleran dan moderat, sehingga mampu menangkal berbagai pemikiran yang dianggap radikal dan membahayakan eksistensi NKRI. 

Adapun bentuk konkret dari program deradikalisasi di antaranya melalui kegiatan koordinasi lintas instansi, dialog, penyuluhan dan seminar seputar bahaya radikalisme kepada berbagai komponen masyarakat. Namun, dibalik 'tujuan mulia' program deradikalisasi terkuak sejumlah kontroversi yang justru mengancam Islam dan umatnya. 

Hanya menyasar Islam

Kontroversi pertama adalah bahwa program deradikalisasi hanya menyasar pada salah satu komponen, yakni umat Islam dan institusi/ormas Islam. Kita mungkin sering mendengar, melihat atau menyimak pemberitaan di berbagai media massa seputar kegiatan deradikalisasi yang dilakukan pemerintah ke pesantren, ormas, komunitas dan ke sekolah-sekolah berbasis Islam. Namun, pada saat bersamaan hampir tidak terdengar kegiatan serupa dilakukan terhadap komunitas atau institusi berbasis nonIslam. 

Hal itu berbahaya karena akan menimbulkan kesan dan pembenaran bahwa ajaran Islam dan umat Islam merupakan sumber inspirasi bagi lahirnya aksi-aksi terorisme. Indikasi ini semakin diperkuat oleh penangkapan (baca: pembunuhan) oleh Densus 88 yang mayoritas terduga (belum terbukti tersangka) teroris  beragama Islam.

Padahal, terorisme bisa dilakukan oleh siapa saja dan tidak dibatasi oleh agama tertentu, ras, batas negara, suku ras dan lainnya. Contoh sederhana, apakah tindakan separatis RMS di Maluku dan OPM di Papua yang membunuh warga sipil dan aparat TNI tidak dianggap sebagai tindakan terorisme

Mendistorsi ajaran Islam

Kontroversi kedua, program deradikalisasi yang berjalan selama ini menimbulkan distorsi (penyimpangan) dan monsterisasi terhadap ajaran Islam. Konsepsi Islam dalam tataran politik seperti khilafah dipersepsikan sebagai ajaran yang berbahaya dan mengancam NKRI. 

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah membuat sejumlah indikator yang menjadi dasar untuk mengklasifikasikan seseorang atau suatu gerakan terkategori radikal atau bukan.  Di antara indikatornya ialah ingin mengganti NKRI dengan Khilafah, memperjuangkan formalisasi syariah dalam negara, dan menganggap Amerika Serikat sebagai biang kezaliman global.

Alhasil, ketika ada gerakan/ormas Islam atau individu yang memiliki ciri-ciri semacam ini, maka patut dicurigai dan harus dijauhi karena berpotensi melahirkan terorisme. 

Tentu saja, indikator-indikator semacam ini sangat tendensius dan menyakiti umat Islam. Sebagai sebuah ide/gagasan, memperjuangkan tegaknya khilafah dan formalisasi syariah dalam negara ketika di perjuangkan secara damai berbasis pemikiran (intelektualitas) merupakan hak (kebebasan berpendapat) setiap warga negara. Bahkan, bagi umat Islam, memperjuangkan syariah dan khilafah merupakan kewajiban sebagai konsekuensi keimanan kepada Allah SWT dan Rasul Muhammad SAW. 

Syamsuddin Ramadhan An Nawiy menjelaskan, seluruh ulama sepakat, khilafah adalah kepemimpinan umum kaum Muslim di seluruh dunia pada wilayah tertentu untuk menjalankan syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. 

Syaikh Musthafa Shabari, Syaikhul Islam dalam Daulah Utsmaniyyah mendefinisikan khilafah dengan, 'Pengganti Rasulullah SAW dalam melaksanakan syariah Islam'. (Musthafa Shabari, Mawqif al-'Aql wa al-'Ilm wa al-'Alim, IV/363). 

Imam al-Baidhawi mendefinisikan khilafah dengan, 'Sosok yang menggantikan Rasulullah saw dalam menegakkan syariah Islam, menjaga agama, yang wajib ditaati oleh seluruh kaum Muslim.' (Imam al-Baidhawi, Hasyiyyah Syarh ath-Thawali', hlm. 228). 

Imam al-Qalqasyandi mendefinisikan khilafah dengan, 'Kekuasaan umum atas seluruh umat' (Imam al-Qalqasyandi, Maatsir al-Inafah fi Ma'alim al-Khilafah, I/8). Imam Adldi ad-Din al-Aiji mendefinisikan khilafah sebagai: 'Kepemimpinan umum untuk urusan dunia dan akhirat yang dimiliki oleh seseorang.' (Imam 'Adldi ad-Din al-Aiji, Mawaqif wa Syarhihi, V/66). Ia juga menyatakan dalam kitab yang sama, bahwa khalifah lebih utama disebut sebagai: Khilafah ar-Rasul dalam menegakkan dan menjaga agama, yang mana ia wajib ditaati oleh seluruh kaum Muslim.' 

Sebagian ulama Syafi'iyah mendefinisikan khilafah dengan, 'Imam A'dzam (Pemimpin Agung) yang mengganti posisi Rasul dalam menjaga agama dan mengatur kehidupan dunia.' (Nihayah al-Muhtaaj ila Syarh al-Minhaj, VII/289).  Imam al-Mawardi mendefinisikan khilafah dengan, 'Imamah yang diposisikan untuk Khilafah Nubuwwah (pengganti kenabian) dalam hal menjaga agama dan urusan dunia.' (Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hlm. 3).  Ibnu Khaldun mendefinisikan khilafah dengan,

'Wakil Allah dalam menjaga agama dan urusan dunia.' (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 159).

Sedangkan pandangan yang menganggap Amerika sebagai biang kezaliman global, maka hal ini merupakan fakta yang tidak terbantahkan. Masyarakat dunia menjadi saksi bahwa Amerika Serikat beserta negara-negara imperialis barat menjadi aktor utama di balik kekacauan yang melanda dunia Islam. 

Intervensi politik dan invansi militer AS telah menewaskan jutaan kaum muslimin di Irak, Pakistan, Palestina, Afghanistan, Suriah dan

berbagai negeri kaum muslimin lainnya. Sementara itu, jutaan lainnya terpaksa menjadi pengungsi di kamp-kamp penampungan dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Dalam kasus ISIS, Mantan Menlu AS Hillary Clinton mengakui bahwa gerakan ISIS merupakan gerakan buatan Amerika Serikat (AS) guna memecah belah dan membuat Timur Tengah senantiasa bergolak. 

Pernyataan Hillary tersebut, selain disiarkan berbagai media massa barat juga dilansir harian Mesir, Elmihwar. Rabu (6/8/2016) lalu harian itu menuliskan bahwa Hillary menyatakan hal itu dalam buku terbarunya, 'Hard Choice'. Mantan Menlu di kabinet Obama masa jabatan pertama itu mengaku, pemerintah AS dan negara-negara barat sengaja membentuk organisasi ISIS demi memecah belah Timur Tengah (Timteng). (inilah.com, 8/8/2014). 

Kesalahpahaman ajaran

Ketiga, program deradikalisasi memicu kesalahpahaman dan ketakutan umat Islam terhadap ajaran Islam itu sendiri. Kesalahpahaman umat Islam terjadi ketika menganggap Islam hanya sebatas agama ritual belaka. Sedangkan terhadap kewajiban penerapan syariah Islam dinilai tidak cocok dan tidak relevan dalam masyarakat yang heterogen. 

Pemahaman keliru semacam ini menjadikan umat Islam berpuas diri dengan hanya mempraktikkan ajaran Islam pada aspek ritual dan sebagian kecil urusan sosial.  Adapun ketakutan terhadap ajaran Islam terlihat dari keengganan masyarakat untuk memahami Islam sebagai ajaran politik yang mengatur seluruh sendi kehidupan. 

Dalam dunia pendidikan, ketakutan tersebut terlihat nyata dengan tidak adanya dukungan pihak sekolah dan  generasi muda Islam (khususnya pelajar) untuk mempelajari Islam secara mendalam dan menyeluruh melalui berbagai forum kajian yang digelar oleh ormas/gerakan dawah.

Muncul kekhawatiran dan prasangka yang tak berdasar, jangan-jangan anak didiknya terjebak dalam gerakan-gerakan radikal dan aksi terorisme melalui kegiatan kajian/pembinaan tersebut. Sehingga, pendidikan moral keagamaan cukup memanfaatkan jam belajar sekolah yang sangat minim, memperbanyak kegiatan eksul yang tidak berbasis keagamaan dan pelajaran tambahan. 

Alhasil, generasi muda Islam menjadi generasi yang cerdas, namun jiwanya rapuh karena kosong dari ruh Islam sehingga rentan terjebak pada pergaulan bebas, narkoba dan tindakan kriminal lainnya sebagaimana yang terjadi saat ini termasuk yang menimpa generasi muda di Kota Manis Pangkalan Bun. Pada akhirnya, umat Islam semakin terjauhkan jalan kebangkitan yang benar dan semakin kaburnya gambaran risalah Islam yang rahmatan lil Alamin.  

Bahaya terakhir dari proyek deradikalisasi adalah semakin memperkokoh dominasi (penjajahan) barat atas negeri ini dan menghambat terwujudnya kedaulatan negara. Dengan menghapuskan pemahaman Islam politik dari benak kaum muslimin, secara otomatis umat kehilangan senjata ideologi yang mampu melawan penjajahan politik dan ekonomi asing dan 'aseng' terhadap negeri ini. Umat Islam menjadi pasrah terhadap berbagai kebijakan zalim yang diterapkan penguasa seperti pencabutan subsidi BBM dan revisi undang-undang terorisme yang berpotensi melahirkan rezim represif. 

Umat melempem dan abai terhadap intervensi asing baik secara langsung maupun melalui tangan oknum-oknum penguasa boneka yang menjadi antek asing untuk menguasai kekayaan alam di negeri ini, memaksakan kurikulum pendidikan berbasis nilai-nilai sekuler, memperkuat paham liberalisme dalam kehidupan sosial keagamaan dan menjadikan lemah secara militer. 

Andri Saputra MSc 

Aktivis Islam Nonparlemen, tinggal di Pangkalan Bun


TAGS:

Berita Terbaru