Aplikasi Pilkada / Software Pilkada Terbaik Untuk memenangkan Pilkada 2020

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Berilah Aku Guru yang Baik

  • 24 April 2016 - 21:34 WIB

PERNYATAAN Suparlan dalam bukunya yang berjudul Menjadi Guru Kreatif di atas adalah analogi dari kaidah 'berilah aku hakim dan jaksa yang baik, yang dengan undang-undang yang kurang baik sekalipun akan dapat dihasilkan keputusan pengadilan yang baik'. 

Sebuah lembaga pendidikan, tentu menginginkan lulusan yang terbaik. Lulusan perguruan tinggi berbentuk universitas atau institut tentu menghasilkan lulusan yang kemampuannya berbeda dengan lulusan politeknik. Hal ini menyangkut masalah visi dan misi lembaganya. Begitu pun lembaga pendidikan dasar dan menengah, tentu setelah sekian tahun belajar, diharapkan menghasilkan lulusan yang terbaik. 

Istilah lulusan terbaik tentu memiliki standar yang terukur sesuai dengan karakteristik lembaga pendidikannya. Ada sebuah lelucon mengenai pendidikan pilot. Pendidikan pilot tidak cukup hanya membuat lulusannya mahir menerbangkan pesawat, tetapi mesti membuat lulusannya juga mahir mendaratkan pesawat.

Betapa mengerikan jika keterampilan menerbangkan pesawat seorang pilot itu tidak diparipurnai dengan keterampilan mendaratkan pesawat dengan mulus, sempurna, dan aman. Itu contoh lulusan terbaik. Standar pilot secara umum adalah mampu menerbangkan, mengendalikan, mendaratkan, dan merawat pesawat yang dipilotinya.

***

Bagaimana dengan pendidikan dasar dan menengah Lulusan pendidikan dasar dan menengah, diharapkan sudah menguasai secara paripurna standar kompetensi lulusan yang ada pada masing-masing jenjang dan mata pelajaran.

Namun, fakta di lapangan, di lembaga-lembaga pendidikan, mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, tekadang standar lulusan atau standar kelulusan menjadi kabur. Apalagi ketika peran belajar dipaksakan berubah menjadi wajib belajar yang keliru. Wajib belajar yang semestinya menjadikan warga belajar untuk mau belajar dimiskinkan dengan makna wajib datang ke sekolah.

Wajib belajar yang saat ini banyak dipraktikkan sebagai wajib sekolah, telah menghancurkan mutu lulusan. Ini diperparah dengan kondisi persekolahan yang tidak kondusif untuk belajar, misalnya karena kekurangan guru, kekurangan guru profesional, kekurangan kelas, kekurangan buku bacaan/perpustakaan, dan tekanan lain yang dihadapi oleh siswa. 

Manajerial persekolahan juga sering menjadi penghambat laju peningkatan mutu pendidikan. Manajerial pendidikan sering terjebak pada rutinitas birokrasi yang menyita banyak waktu, dan konsentrasi penyelenggara pendidikan sehingga menjadi abai atas kualitas pendidikannya.

Sampai saat ini, masih didapati lulusan sekolah dasar yang belum lancar membaca, lulusan SMP yang tidak menguasai konsep dasar pengetahuan dan matematika, lulusan SMA yang tidak menguasai logika sederhana, dan lulusan perguruan tinggi yang tidak mampu mengisi pasar kerja atau menciptakan lapangan kerja. 

Kualitas pendidikan yang dikaburkan dengan hasil ujian nasional selama ini menunjukkan ketidakberdayaan lembaga pendidikan dalam menjaga dan meningkatkan mutu pendidikannya. Guru di sekolah lebih terfokus pada bagaimana agar siswa mendapatkan nilai ujian yang baik, dan mengabaikan kualitas yang sesungguhnya. Sekolah dan lembaga-lembaga yang bertanggung jawab atas pendidikan, bukan atas kualitas pendidikan, terjebak pada usaha meningkatkan hasil ujian nasional dengan berbagai cara. 

Indeks integritas ujian nasional (IIUN) yang tidak jelas dasar penghitungannya tidak berdampak nyata bagi perbaikan kualitas pendidikan. Hingga saat tulisan ini dibuat, belum ada kabar apa yang akan terjadi dengan sekolah yang IIUN-nya rendah. 

Sebagai orang tua, tentu kita tidak menginginkan anak-anak kita menjadi korban, seandainya ada kebijakan yang mungkin sangat merugikan peserta didik. Pernyataan bahwa IIUN akan mempengaruhi posisi sekolah atau siswa dalam melanjutkan pendidikan tentu lebih menyedihkan ketimbang penerimaan peserta didik melalui uji tertulis atau dan uji keterampilan di lembaga pendidikan yang ditujunya tersebut.

Pemaksaan penggunaan hasil ujian nasional sebagai penentu seleksi masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi berdampak buruk pada kualitas pendidikan itu sendiri. Tidak semua orang pintar mendapatkan nilai baik, dan tidak semua orang bodoh akan mendapatkan nilai buruk. Tiga, empat, atau lima, dan enam mata pelajaran yang diujinasionalkan tidak menggambarkan kemampuan siswa secara menyeluruh. 

Begitu pun, tidak semua jurusan di perguruan tinggi yang jurusannya berkepentingan dengan mata pelajaran yang diujinasionalkan. Bukankah pada beberapa jurusan di perguruan tinggi, masih mempersyaratkan uji keterampilan 

***

Lalu, apakah kita akan mengabaikan siswa yang pandai dan paripurna pada pelajaran tertentu, namun sangat lemah pada pelajaran lain Padahal, sangat mungkin anak seperti ini lebih berpotensi untuk mengembangkan dirinya. Jadi, kualitas pendidikan atau kualitas lulusan pendidikan itu dasarnya apa 

Sudah selayaknya lembaga pendidikan pada saat ini lebih berfokus pada penciptaan kondisi untuk mau belajar, bukan sekadar mau sekolah. Bagaimanapun, belajar itu lebih bermanfaat ketimbang bersekolah. Dengan belajar seseorang akan mampu memecahkan masalah yang akan dihadapinya, sedangkan sekolah hanyalah identitas. 

Meski begitu, tidak berarti bahwa sekolah itu tidak penting. Mereka, para pemuda itu, tetap harus berangkat ke sekolah. Yang penting lagi, bagaimana sekolah dan lembaga yang bertanggung jawab atas persekolahan lebih fokus pada peningkatan kualitas layanan pendidikan sehingga anak-anak sekolah itu benar-benar belajar di sekolah, tidak harus di dalam kelas, dengan dampingan guru-guru profesional.

Willy Ediyanto 

Praktisi pendidikan, Finalis Guru Berprestasi Nasional 2014


TAGS:

Berita Terbaru