Aplikasi Pilkada / Software Pilkada Terbaik Untuk memenangkan Pilkada 2020

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Aglomerasi Tepi Sungai

  • Oleh Yohanes S Widada
  • 01 November 2016 - 11:10 WIB

Oleh: Dr Ali Moh Fadhillah 

DENGAN bersumber pada tradisi lisan dan dikuatkan oleh indikasi arkeologis, dapat diperkirakan bahwa sejak awal abad XVII, ibukota kerajaan pertama di Kotawaringin Lama telah dirancang sebagai permukiman tepi sungai. 

Karakteristik fungsi politik kota-raja mula-mula ditandai oleh adanya sebuah alun-alun yang terdapat di antara keraton dan tepi sungai. Dengan diapit oleh alun-alun, dapat dipastikan keraton menghadap ke arah sungai, yang merupakan satu-satunya sarana komunikasi yang membuka isolasi Kotawaringin Lama bagi rute maritim pesisir selatan Kalimantan. 

 Konsekuensi dari pola pemukiman sungai itu, pelabuhan bukan lagi di pesisir laut, tetapi terletak di tepi sungai yang berhadapan langsung dengan keraton. 

Dugaan ini diperjelas oleh toponim yang masih melekat dalam kenang-kenangan masyarakat dengan menyebutnya dermaga raja atau dermaga dalem, yaitu tempat berlabuhnya perahu-perahu niaga dari muara sungai Lamandau.

Bukan hanya istana, tetapi masjidpun juga berada di tepi sungai.  Pada masa ini, masjid yang selalu menandai ibukota kerajaan Islam, kemungkinan dibangun pertama kali oleh Kiai Gede atau Dipati Ngganding. 

Terletak persis di tepi sungai Lamandau, masjid didirikan di atas tiang-tiang mengikuti model rumah panggung, namun tetap memperlihatkan tipe masjid klasik Jawa yang terutama ditandai oleh empat saka guru yang beratap tumpang berbentuk limasan. 

Bedanya dengan kebiasaan di Jawa yang selalu menempatkan masjid di sebelah barat alun-alun, Masjid Kiai Gede itu lebih diutamakan dekat dengan sungai. Dengan demikian, sekali lagi sungai tetap menjadi bagian penting bukan hanya untuk sarana komunikasi tetapi juga bagi kegiatan peribadatan komunitas muslim di Kotawaringin.

Posisi keraton sebagai ruang konsentrik sebuah kota-raja. Meski kita tidak lagi memiliki bukti monumental keraton pertama, tetapi keberadaannya telah dicatat dalam salah satu masnuskrip Melayu yang ditulis di Kotawaringin Lama pada abad XIX (Salahsilah Katurunan Raja Banjar dan Kotawaringin) sebagai sebuah pusat istana raja yang lengkap dengan bangunan paseban dan srimanganti di sekitar alun-alun. Adapun emplasemen keraton pertama sampai hari ini selalu dianggap sebagai tempat sakral.  (yoh/*)

Berita Terbaru