Aplikasi Pilkada / Software Pilkada Terbaik Untuk memenangkan Pilkada 2020

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Aturan Moratorium Perkebunan Sawit Bakal Mundur

  • Oleh Nedelya Ramadhani
  • 17 Januari 2017 - 11:20 WIB

BORNEONEWS, Pangkalan Bun - Pelaku industri sawit diharapkan bersabar menunggu terbitnya aturan tentang moratorium perkebunan kelapa sawit. Kenapa

Alasannya, penerbitan regulasi tentang moratorium perkebunan kelapa sawit ini berpotensi ditunda, karena akan diterbitkan bersamaan dengan regulasi reforma agraria dan pemutihan lahan.

"Skenario tersebut merupakan ide dari Kemenko Perekonomian. Perkebunan kelapa sawit rakyat menjadi salah satu obyek dalam reforma agraria dan pemutihan lahan," kata Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, San Afri Awang, kepada pers di Jakarta, Selasa (17/1/2017).

Moratorium perkebunan kelapa sawit akan diakomodasi dalam Instruksi Presiden tentang Evaluasi dan Penundaan Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit. Saat ini, dokumen draf beleid itu sudah berada di Istana Kepresidenan.

Sementara payung hukum reforma agraria akan dituangkan dalam Peraturan Presiden tentang Reforma Agraria. Sedangkan pemutihan lahan bakal dimasukkan dalam Perpres tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah oleh Masyarakat yang Berada di Dalam Kawasan Hutan.

Sebelumnya, Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla menjanjikan lahan seluas 9 juta hektare (ha) sebagai tanah obyek reforma agraria (TORA) hingga 2019. Skemanya adalah 4 juta ha dalam bentuk sertifikasi, sedangkan sisanya berupa distribusi tanah untuk pertanian dan perkebunan.

Di samping itu, pemerintah juga menjanjikan 12,7 juta ha kawasan hutan dikelola masyarakat lewat perhutanan sosial (PS). Beberapa skema PS adalah hutan desa, hutan rakyat, hutan tanaman rakyat, hutan kemasyarakatan, hingga hutan adat.

"TORA dan PS sebagai solusi untuk mengatasi perambahan kawasan hutan oleh masyarakat. Pemerintah, siap melepas kawasan hutan yang terlanjur masuk dalam kegiatan perkebunan, pertanian, hingga transmigrasi," papar Awang.

Pada tahun lalu, lanjut Awang, pihaknya telah menerbitkan surat keputusan pelepasan sekitar 707.000 hektare (ha) kawasan hutan untuk rakyat. Namun, payung hukum berupa Perpres tetap dibutuhkan untuk memperkuat kebijakan tersebut.

"Dengan dua perpres itu, Indonesia akan mengadopsi orde ekonomi baru untuk usaha berbasis lahan. Pengelola lahan akan berbentuk koperasi yang merupakan kumpulan dari pelaku-pelaku usaha kecil, dibandingkan saat ini yang cenderung dikuasai oleh konglomerasi," tuturnya. (NEDELYA RAMADHANI/m)

Berita Terbaru