Aplikasi Pilkada / Software Pilkada Terbaik Untuk memenangkan Pilkada 2020

IT Konsultan Terbaik Indonesia

RI Masuk 10 Besar Deforestasi, Data Kaleng-kaleng

  • Oleh Inilah.com
  • 24 Juli 2020 - 22:50 WIB

INILAHCOM, Jakarta - Metodologi dan terminologi untuk mendefinisikan deforestasi di ranah global, berbeda dengan skala nasional. Ini bia memicu kerancuan data dan mendorong interpretasi keliru terhadap informasi yang dipublikasikan.

Data global semestinya tidak digunakan untuk level dibawahnya atau dikenal dengan multistage monitoring system. Data Global tidak dapat melihat secara lebih akurat.

Selain itu, terdapat perbedaan istilah serta tidak dijelaskan duduk perkara dari kondisi lapangan maupun metodologinya data global sehingga kerapkali menimbulkan kerancuan dan perbedaan interpretasi.

Hal ini disampaikan Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Belinda Arunawati Margono dalam seminar online #INApalmoil Talkshow bertajuk "Palm oil and Neocolonialism Agenda" yang diadakan oleh Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Jakarta, Rabu (15/07/20).

"Data yang digunakan pada skala global tidak dapat digunakan secara langsung, dikarenakan metodologi sistem pemantauan level atau skala tertentu yang tidak dapat disamakan pada skala yang berbeda. Jika pemantauan dilakukan secara global, dibutuhkan kalibrasi data dan informasi untuk menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada pada skala nasional," ungkap Belinda.

Salah satu data global yang digunakan untuk men-judge Indonesia adalah data yang baru-baru ini dirilis Global Forest Watch (GFW) yang merupakan data dari global land analysis and discovery, University of Marryland. Di mana, menyebutkan Indonesia berada pada posisi 10 teratas dengan laju deforestasi tertinggi.

Dengan menggunakan informasi tutupan lahan, GFW mengkategorikan hutan primer sebagai area dengan kerapatan tutupan pohon minimum 30%. "Metode yang digunakan adalah metode biophysical sehingga tidak dapat membedakan jenis hutan secara umum. Sensor dari citra satelit yang digunakan tidak dapat mengetahui apakah hutan yang dipantau adalah savanah, hutan kerdil ataupun lumut. Bahkan hutan tanam dan alam diidentifikasi sebagai hutan yang sama," tegas Belinda.

Misinterpretasi informasi ini menimbulkan dampak kerugian pada berbagai sektor di Indonesia, salah satunya industri kelapa sawit. Kerap kalau tudingan deforestasi di Indonesia terjadi akibat pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit.

Padahal Guru Besar Institute Pertanian Bogor (IPB) Yanto Santosa mengutip data Matthew pada 1983 menyebutkan, periode 16001980 merupakan awal mula deforestasi hutan dunia yang mencapai 701 juta ha. Terdiri dari hutan non tropis seluas 653 juta ha dan hutan tropis 48 juta ha.

Lebih lanjut, Yanto menyebut, puncak deforestasi di Indonesia adalah periode 1950-1985 dan 1985-2000 dimana ekspansi lahan untuk kelapa sawit hanya 1 juta dan 3 juta hektar dalam periode yang sama.

Berita Terbaru