Aplikasi Pilkada / Software Pilkada Terbaik Untuk memenangkan Pilkada 2020

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Diduga Rambah Hutan dan Belum Realisasikan Plasma, Manajemen Perusahaan Pilih Bungkam

  • Oleh Hendi Nurfalah
  • 17 Mei 2021 - 20:01 WIB

BORNEONEWS, Nanga Bulik - Perusahaan perkebunan kelapa sawit di bawah bendera Union Sampoerna Triputra Persada (USTP) Group yakni PT Sumber Mahardhika Graha (SMG) dan dan PT Graha Cakra Mulya (GCM) diduga melakukan pelanggaran berupa perambahan hutan. Luasan perambahan hutannya pun disinyalir mencapai ribuan hektare (ha).

Seperti diketahui, kedua perusahaan USTP itu secara teritorial masuk di dua kabupaten yakni Lamandau dan Kabupaten Sukamara, provinsi Kalimantan Tengah. PT SMG mulai beroperasi sejak 2 Agustus 2007. Sedangkan PT GCM mulai beroperasi sejak Agustus 2007 yang merupakan take over dari PT Kulim.

Berdasarkan Peta Lampiran Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor : SK. 6025/MENLHK-PKTL/KUH/PLA.2/11/2017, di lokasi kedua perusahaan tersebut tampak terdapat lahan berstatus kawasan hutan. Di lokasi PT GCM, terdapat kawasan hutan produksi terbatas (HPT) yang diduga kuat masuk wilayah Desa Penopa, Kecamatan Lamandau, Kabupaten Lamandau, ada pula kawasan hutan produksi tetap (HP) serta hutan produksi yang dapat di konversi (HPK) yang diduga sudah lama digarap. Sedangkan di lokasi PT SMG, terdapat kawasan hutan produksi tetap (HP) dan hutan produksi yang dapat di konversi (HPK).

Rinciannya, di lokasi PT GCM terdapat HPT seluas 139, 38 hektare, HP seluas 12, 53 hektare dan HPK seluas 640, 11 hektare. Artinya luas kawasan hutan yang diduga dirambah PT GCM USTP Group seluas 792,02 hektare. Sedangkan di lokasi PT SMG terdapat HP seluas 10, 71 hektare dan HPK 763, 67 hektare. Artinya luas kawasan hutan yang diduga dirambah PT SMG USTP Group seluas 774,38 hektare.

Berdasarkan rincian tersebut, jumlah keseluruhan kawasan hutan yang diduga dirambah kedua perusahaan dibawah bendera USTP Group itu seluas 1.566,4 hektare. 

Selain diduga merambah hutan, kedua perusahaan dibawah bendera USTP Group ini pun belum merealisasikan aturan 20 persen plasma dari luas hak guna usaha (HGU). Jika dihitung berdasarkan data peta tersebut, minimal luasan plasma yang harus disediakan oleh USTP Group ini 6.449,6 hektare dalam HGU. 

Menyikapi dugaan perambahan hutan oleh USTP group itu sejumlah pihakpun sudah banyak yang merespon hal tersebut, di antaranya dengan meminta pemerintah daerah segera mengusut tuntas polemik yang terjadi.

Ketua Himpunan Mahasiswa (HIMA)  Lamandau - Palangka Raya, Ibo mengatakan, benang kusut dugaan perambahan hutan oleh USTP Group tersebut harus segera diurai.

"Tentunya harus diusut tuntas, bahkan secara hukum," kata Mahasiswa Fakultas Hukum di Institut Agama Hindu Negri - Tampung Penyang (IAHN-TP) Palangka Raya itu, Senin, 17 Mei 2021.

Menurut dia, secara umum perambahan hutan merupakan persoalan yang krusial. Karena, menjadi cikal bakal terjadinya bencana alam serta konflik lahan. Oleh sebab itu, dia meminta kepada pemerintah termasuk aparat penegak hukum untuk menyelesaikan dugaan perambahan hutan tersebut. 

"Mudah-mudahan ada titik terang atas dugaan kasus perambahan hutan ini. Investasi memang harus tetap dijaga, namun harus dijalankan dengan tidak menabrak regulator," kata Ibo yang juga mahasiswa kelahiran Desa Penopa, Kecamatan Lamandau, Kabupaten Lamandau itu.

Respon lainnya juga datang dari Barisan Pertahanan Masyarakat Adat Dayak (Batamad) Kabupaten Lamandau. 

Komandan Brigade Batamad Kabupaten Lamandau, Dedi Linando Amann bahkan mengecam jika dugaan perambahan hutan itu betul-betul terjadi.

"Kami selaku baramad sangat mengecam jika dugaan perambhan hutan itu betul-betul terjadi, saat ini kami juga sedang koordinasi dengan berbagai pihak untuk menelisik serta mencari kebenarannya," kata Dedi. 

Berita Terbaru