Aplikasi Pilkada / Software Pilkada Terbaik Untuk memenangkan Pilkada 2020

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Ini Kritikan dan Solusi dari Petani Mandiri pada Pengambil Kebijakan agar Kondisi Perdagangan Sawit Kembali Bergairah

  • Oleh Wahyu Krida
  • 28 Juni 2022 - 11:10 WIB

BORNEONEWS, Pangkalan Bun - Walaupun komoditas kelapa sawit merupakan produk unggulan ekspor Indonesia, namun kebijakan iklim usaha tetap saja tidak berpihak pada petani dan pengusaha sawit, baik yang dikelola melalui perusahaan maupun petani kelapa sawit mandiri.

Pasalnya dampak kebijakan iklim usaha tidak berpihak ke yang kreatif produktif dan tetap memberikan beban pajak ekspor, pungutan dan flush out yang dirasakan terlalu besar serta tidak wajar yang berkisar antara 55% atau Rp 11 juta/ton: Rp 20 juta/ton kali 100% dari harga CPO global, mempersulit bagi pengusaha dan membawa efek domino yang berpengaruh pada petani sawit mandiri yang berasal dari kalangan masyarakat.

Hal tersebut disampaikan Wayan Supadno, salah seorang petani kelapa sawit mandiri yang membudidayakan tanaman tersebut di Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar).

Kepada www.borneonews.co.id, Selasa, 28 Juni 2022, Wayan Supadno mengatakan akibat dampak kebijakan yang diambil oleh pemerintah petani kecil massal dibangkrutkan demi pajak pungutan berlebihan.

"Petani menjerit karena sekitar 70 pabrik kelapa sawit (PKS) terpaksa tutup atau tidak menerima TBS petani. Sebab jeritan petani lain lantaran harga TBS hanya Rp 800/kg, padahal sebelum kebijakan stop ekspor Rp 3.800/kg. Saat ini juga harga di Malaysia Rp 5.000 an/kg. Ironisnya, dengan fenomena banyaknya TKI ke Malaysia mengadu nasib untuk bekerja di sektor perkebunan sawit juga," jelas Wayan Supadno.

Menurut Wayan Supadno, penyebab semakin banyaknya PKS yang tutup lantaran terlalu beratnya syarat ekspor. 

"Di antaranya pajak ekspor/bea keluar US $ 288/ton. Pungutan ekspor oleh BPDPKS US $ 200/ton. Flush out US $ 200/ton. Sehingga total beban US $ 688 setara Rp 11 juta/ton," jelas Wayan Supadno.

Padahal, menurut Wayan Supadno, harga CPO global hanya US $ 1.380 setara Rp 20 juta/ton. 

"Jika dipotong pajak pungutan dan flush out Rp 11 juta/ton. Tinggal Rp 9 juta/ton, di pelabuhan. Belum lagi biaya kirim dari PKS dan biaya lainnya. Bahkan hari ini 28 Juni 2022 harga CPO Rp 7 jutaan/ton (KPBN). Sungguh sangat mengkhawatirkan. Kesempatan emas harga cantik di pasar global tanpa dimanfaatkan dengan bijak," jelas Wayan Supadno.

Wayan Supadno mengatakan, lazimnya, rendemen CPO 20% dari TBS, maka sangat wajar jika harga di petani hanya Rp 800.000/ton. 

"Padahal biaya produksi sejak perang Rusia Ukraina Rp 1,8 juta/ton. Petani rugi Rp 1 juta/ton. Petani terancam sumber pangan dan biaya sekolah anak - anaknya. Saat Presiden Joko Widodo semangat mencari investor, tapi petani investor massal dikecewakan," jelas Wayan Supadno.

Berita Terbaru