Aplikasi Pilkada / Software Pilkada Terbaik Untuk memenangkan Pilkada 2020

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Riwayat Nasakom

  • 10 April 2016 - 21:13 WIB

KONSEP-konsep politik yang diciptakan presiden pertama Indonesia, Soekarno sering terdengar wah. Sebutlah misalnya berdikari (berdiri di atas kaki sendiri). Lalu ada nekolim (neokolonialisme). Kemudian, yang juga kerap disikapi secara kontroversial adalah nasakom (nasionalis, agama, dan komunis).

Tapi, tahukah Anda, di balik 'gelegar' istilah-istilah itu, proses penciptaannya tak melulu terkesan mengerikan. Alih-alih, beberapa konsep malah diciptakan lewat proses yang diwarnai humor. Konsep nasakom misalnya.  

Di awali dari upaya Bung Karno menertibkan (retooling) partai politik, di mana ada syarat partai minimal harus punya anggota sebanyak 150 ribu orang yang tersebar di 6 provinsi. 

Dalam proses lahirnya persyaratan itulah ada kelucuannya. Indonesia pada saat itu terdiri dari 24 provinsi. Soekarno mulanya menginginkan jika syarat keanggotaan partai tersebar di minimal 12 provinsi, alias separuh dari jumlah provinsi yang ada.

Maksudnya agar tidak ada lagi partai gurem dalam sistem politik Indonesia, sehingga kekisruhan akibat kebanyakan partai tidak terjadi lagi.

Namun, keinginan Bung Karno itu mendapat kritik dari Ipik Gandaman, Menteri Dalam Negeri, saat itu. 'Begini, Bung, kalau minimal di 12 provinsi, nanti Partai Katolik dan Kristen tidak bisa memenuhi,' ujar Ipik, menjelaskan.

'Lho, ndak bisa Bakal mati' tanya Soekarno, kaget.

'Iya, Bung, nanti mereka bisa bubar kalau syaratnya 12 provinsi,' timpal Roeslan Abdulgani, Menteri Pembina Jiwa Revolusi.

'Yo, wis. Anu ae, cilikno ae, cilikno,' perintah Soekarno.

Akhirnya, syarat minimal tersebar di 12 provinsi itupun dikurangi menjadi hanya 6 provinsi saja. Intinya, Soekarno memang membutuhkan partai agama sengaja untuk mengimbangi PKI, yang saat itu tengah kuat-kuatnya, dengan mengusung ideologi komunisme.

Tahap selanjutnya, Bung Karno membentuk apa yang disebut Persatuan Nasional. 'Mulai sekarang, partai Islam tidak boleh lagi berpandangan seperti Kartosoewirjo, dan partai komunis tidak boleh lagi meniru Moskow dan Peking, sok-sokan atheis, internasionalis. Semua mesti menerima Pancasila,' demikian pesan Soekarno. 

Di dalam forum itulah konsep persatuan nasional yang diusulkan Bung Karno dibahas lebih jauh. 'Konsepnya jadi begini, Bung, Nasionalis-Islam-Komunis, disingkat 'Nasikom',' ujar salah satu peserta rapat.

'Kok nggak enak banget singkatannya. Ojo kuwi,' ujar Soekarno.

'Lha, terus kulo wonten pundi' protes golongan Katolik, karena merasa tak terakomodasi dalam konsepsi itu.

'Nah, kuwi, mulakno,' ujar Bung Karno.

'Kalau begitu, dus begini saja, Nasionalis-Islam-Komunis-Katolik-Kristen,' ujar peserta yang lain.

'Terus singkatane opo! 'Nasikok' Blas ora penak nang kuping. Terus sik Hindu, Budha, dilebokno nang ndi' tanya Bung Karno.

Semua orang jadi berkerut.

'Ngene wae,' ujar Bung Karno, 'Islam, Katolik, Kristen, Hindu dan Budha dijadikan 'Agama', sehingga konsepsinya menjadi 'Nasionalis-Agama-Komunis', disingkat NASAKOM,' usul Soekarno. Semua orang akhirnya mengangguk setuju.

Jadi, Nasakom bukanlah 'ideologi', atau sebuah gagasan sesat pikir (seperti diwakili pertanyaan: 'agama kok disatukan sama komunis'), sebagaimana yang sering salah dikira orang pada masa sesudahnya. Itu adalah sebuah konsepsi untuk mengkonsolidasikan demokrasi pasca-periode parlementer yang melelahkan, agar pertikaian ideologi antar-partai tidak lagi merongrong dasar negara.

Tarli Nugroho  

Peniliti Mubyarto Institute


TAGS:

Berita Terbaru