Aplikasi Pilkada / Software Pilkada Terbaik Untuk memenangkan Pilkada 2020

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Revisi UU Pilkada Harus Perhatikan Putusan MK

  • 24 April 2016 - 21:42 WIB

KEPUTUSAN sementara DPR RI dalam pembahasan terakhir Jumat (22/4/2016) lalu bahwa anggota DPR cukup cuti untuk mengikuti pilkada dikritik banyak pihak. 

Peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil mengkritik sikap DPR itu sebagai kemunduran demokrasi. 'Anggota dewan harus mundur, sesuai putusan MK, (kalau hanya cuti) itu kemunduran,' ujar Fadli kepada Media Indonesia di Jakarta, Minggu (24/4/2016).

Menurut Fadli, putusan Mahkamah Konsitusi (MK) yang mewajibkan anggota DPR, DPD, dan DPRD mundur saat mengikuti kontestasi pilkada sejatinya sebagai langkah maju dalam proses demokrasi. Ini agar tidak ada diskriminasi dengan calon lain yang berasal dari aparatur sipil negara dan TNI/Polri.

Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menambahkan, aturan dalam revisi UU Pilkada akan berpotensi besar digugat jika berbeda dengan putusan MK. Pemerintah dan DPR harus menjelaskan argumentasi secara kuat dari aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis jika keputusan yang dibuat mengabaikan putusan MK. 'Tidak semata-mata sebagai bentuk pengingkaran atas putusan MK,' ucap Titi.

Koordinator nasional JPPR Masykurudin Hafidz menyatakan perlunya seluruh pejabat publik untuk mundur dari jabatannya agar tercipta keadilan dalam penegakan hukum. Menurutnya penegakan hukum akan lebih efektif dan berwibawa jika seluruh peserta pilkada tidak mempunyai posisi apapun dalam jabatan publik.

Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Sumarsono mengatakan pada pembahasan tertutup terakhir dengan DPR anggota dewan beralasan ada ketidakadilan jika petahana hanya perlu cuti, namun anggota dewan harus mundur. Menurutnya, anggota dewan dan petahana kepala daerah merupakan jabatan politis yang menjabat karena dipilih rakyat sehingga tidak bisa disamakan dengan PNS biasa yang jabatannya berdasarkan pengangkatan.

Sumarsono menampik jika Kemendagri melunak dengan DPR. Namun, Sumarsono mengakui, dalam pembahasan disadari bahwa anggota dewan merupakan sumber kader potensial untuk memimpin daerah, karena pemahamannya akan seluk-beluk pemerintahan. Jika syarat mundur masih diberlakukan, sambungnya, akan membuat anggota dewan enggan maju menjadi calon kepala daerah.

'Kalau kerannya ditutup karena tidak mau mencalonkan karena syarat mundur, pilkada akan sepi akhirnya sehingga nanti parpol maupun perorangan mencari yang pragmatis,siapa yang populer jadi calon walau dia tidak memahami pemerintahan,' ungkapnya. (MI/B-10)

Berita Terbaru