Aplikasi Pilkada / Software Pilkada Terbaik Untuk memenangkan Pilkada 2020

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Pesantren di Tengah Perang Narasi Era Digital

  • Oleh ANTARA
  • 13 Mei 2024 - 13:30 WIB

BORNEONEWS, Surabaya - Sejatinya, pesantren adalah lembaga pendidikan keimanan, akhlak, ilmu, sekaligus pengamalannya. Kasus perundungan yang terjadi di sebuah pesantren di Mojo, Kota Kediri, Jawa Timur, pada awal Februari 2024, harus dilihat dengan kacamata jernih, sehingga kita tidak terjebak pada kondisi yang membuyarkan muruah dari pesantren.

Kasus perundungan di sebuah pesantren di Kediri yang belum mengantongi izin, yakni nomor statistik pesantren (NSP) dari Kemenag itu pun langsung saja menyedot perhatian masyarakat, sehingga menjadi ajang kita untuk memilih, apakah menggunakan kacamata hitam atau kacamata putih.

Tanpa pikiran dan hati jernih dalam memandang sesuatu, dunia digital itu tanpa disadari justru banyak framing daripada fakta. Framing adalah kesalahan (bukan kebenaran), tapi diulang-ulang atau diviralkan kemana-mana, sehingga kesalahan itu bisa dianggap benar. Contoh, guyonan/kelakar di pesantren, yang kadang juga sangat berlebihan, sehingga disimpulkan sebagai perundungan.

Di era serba cepat ini, apa yang muncul langsung di-viral-kan, termasuk kasus di Mojo, Kediri, yang pada pekan berikutnya dicari "bahan" lagi di pesantren itu atau pesantren lain, sehingga dalam sebulan bisa saja disimpulkan bahwa pesantren adalah "sarang" perundungan.

Begitulah alur framing di dunia maya, padahal humor/kelakar di pondok pesantren itu biasa atau terbiasa, untuk menempa mentalitas, atau sekadar "membunuh" sepi.

Apalagi, jumlah pondok pesantren dalam data Kementerian Agama (Kemenag) RI menunjukkan ada sekitar 41 ribu lembaga yang menampung 3,1 juta santri dan 276 ribu ustadz di seluruh Indonesia.

Itu cuma framing tentang humor, coba kalau framing tentang pendapat, misalnya pendapat ulama/ustadz X yang niatnya bukan jelek atau cuma humor, tapi akibat adanya framing akhirnya menjadikan citra ulama/ustadz/ning X itu pun jatuh. Begitulah dunia maya. Lebih gawat lagi, kalau tidak hati-hati, dunia digital juga menjebak generasi menjadi radikal, karena belajar agama di dunia digital tanpa guru.

"Perang" narasi

Menurut data FSGI, perundungan di lembaga pendidikan agama sangat kecil, sehingga siswa/santri yang ada pada lembaga pendidikan agama dan keagamaan relatif lebih aman dari tindakan tersebut.

Dalam konteks framing itulah, Asosiasi Pesantren NU yang tergabung dalam Rabithah Ma'ahidil Islamiyah (RMI) PWNU Jatim pun mengajak kalangan pesantren untuk memiliki kemampuan membangun pesan publik dan memenangkan "pertarungan" atau "perang" narasi di era digital.

Caranya, melalui kemitraan dengan kalangan media sebagai langkah strategis untuk menyesuaikan dengan logika dan kebutuhan masyarakat kota yang cenderung lebih terbuka dalam memberikan kritik dan komentar, khususnya melalui sosial media.

Berita Terbaru