Aplikasi Pilkada / Software Pilkada Terbaik Untuk memenangkan Pilkada 2020

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Posko Anti DO

  • Oleh Yohanes S Widada
  • 17 Juni 2016 - 21:27 WIB

 ADA yang menarik dicermati kegiatan Bupati Barito Utara, Nadalsyah. Ia mengajak para orang tua, para pecinta pendidikan, bahkan pemerhati pendidikan untuk bersama-sama mendirikan Posko Anti Drop Out atau Posko Anti DO.

Gagasan ini patut dicatat, karena inilah pertama kali gerakan yang konkrit di Kalimantan Tengah dalam upaya melaksanakan program wajib belajar. Baik  wajib belajar 12 tahun maupun wajib belajar 15 tahun.

Yang pasti, tujuan dibentuknya posko ini untuk mencegah anak  putus sekolah. Yang lulus TK tidak melanjutkan ke SD. Sedangkan yang lulus SD tidak melanjutksn ke SMP. Demikian pula yang lulus SMP tidak melanjutkan ke SMA dan SMK.

Dus, inti dari posko ini adalah  mencegah anak tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Kebetulan ini adalah momentum yang tepat:  menginjak tahun ajaran baru.  

Pemerintah kini tak mau kecolongan oleh banyaknya anak yang tidak mau melanjutkan sekolah. Karena itu, dengan alokasi anggaran APBN dan APBD yang besar, maka layanan pendidikan haruslah dapat menjangkau ke seluruh lapisan masyarakat.  Ini  sesuai dengan prinsip pendidikan untuk semua  (education for all)  tanpa membedakan asal-usul, status sosial, ekonomi, dan kewilayahan.

Hanya saja kita patut mengingatkan kepada Bupati Nadalsyah. Jangan sampai pendirian posko ini  berhenti menjadi seremonial saja.

Posko hendaknya benar-benar menjadi pusat kajian drop-out (DO).  Dan, hendaknya berbagai persoalan yang menjadi akar masalah DO ini bisa diatasi. Penyakit-penyakit sosial dan budaya yang menjadi penyebab DO harus bisa disembuhkan.  Benalu-benalu yang menyebabkan orang akhirnya  terpaksa DO harus diberantas.

Sebagai contoh, sekolah yang menahan raport atau ijazah hanya gara-gara belum membayar uang sekolah, juga harus dihilangkan.  Menahan raport, adalah tindakan sekolah yang sangat kejam dari sisi pendidikan.  Karena bisa membuat anak merasa dipermalukan (karena orang tua miskin), dan akhirnya tak mau lagi masuk sekolah.

Besarnya  pungutan uang gedung,  uang buku, uang seragam, uang praktik, dan lainnya, dalam banyak kasus benar-benar menjadi momok terjadinya putus sekolah.  Kenakalan remaja dan perkawinan dini, juga menjadi hantu yang kian mengerikan.

Berita Terbaru