Aplikasi Pilkada / Software Pilkada Terbaik Untuk memenangkan Pilkada 2020

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Warga Desa Pulau Kaladan Tidak Bisa Bercocok Tanam Tanpa Dibakar

  • Oleh Budi Yulianto
  • 08 September 2016 - 10:30 WIB

BORNEONEWS, Kapuas - Warga Desa Pulau Kaladan, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, mengaku tidak bisa berladang tanpa membakar lahan terlebih dahulu. Warga juga tahu jika membakar lahan itu sudah dilarang. Namun aturan pemerintah seperti dilema karena bercocok tanam diawali dari pembakaran sudah dilakukan turun termurun sejak nenek moyang.

Mereka juga tidak peduli dengan aturan itu walaupun proses hukum taruhannya. Ini karena hanya masalah perut dan tiada jalan lain selain hal itu. Namun demikian, mereka juga memiliki etika dalam melakukan pembakaran. Yakni dengan cara membersihkan dan dijaga sampai api benar-benar padam.

"Masyarakat bingung begitu mendengar ada larangan membakar lahan. Sampai sekarang sebagian masyarakat  tidak berani menggarap lahan. Karena mikir-mikir. Kalau saya, tidak peduli. Karena ini masalah perut," kata Siwo (47), Ketua Kelompok Tani Paung dari delapan kelompok tani di daerah itu, kepada wartawan pada kegiatan Journalist Trip Kemitraan dan Yayasan Perspektif Baru dalam agenda Restorasi Gambut Berbasis Ekologi dan Ekonomi di Kalteng, Rabu (7/9/2016).

Siwo didampingi warga lainnya, Domo, Runjat dan Mijon menerangkan ada 1.100 kepala keluarga dari 3.640 jiwa di daerah itu. 95 persen warga setempat berladang. Mulai dari menanam padi, karet dan kayu sengon. Jika gambut terlalu tinggi maka ditanami kayu belangiran atau jalutung. Untuk menuju kebun sendiri memakan waktu kurang lebih 30 menit dengan jalur air menggunakan ces atau kelotok kecil.

"Kalau membersihkan lahan tanpa dibakar tidak pernah. Memang kalau disini gak dibakar susah suburnya," ungkapnya.

Menurutnya, daerah tersebut tidak jauh dari kantor polisi. Aparat penegak hukum juga pernah memberikan imbauan larangan kepada mereka. Namun sepertinya masih ada kebijakan mengingat warga membakar cukup di lahan mereka. Bahkan selalu dijaga sampai padam.

"Tekhniknya, saya berani membakar karena menyediakan mesin pemadaman. Terus dijaga sampai padam," jelasnya.

Jika pemerintah tak memberikan solusi, pembakaran lahan disebutnya tidak bisa dihentikan. Mengenai program cetak sawah, mereka menyebut tidak ada. "Disini tidak ada cetak sawah. Memang masyarakat mau kalau membakar lahan berhenti. Tapi tolong pemerintah siapkan lahan, tolong pemerintah garap lahan ini. Supaya berhenti membakar. Saya sejak 5 tahun lalu sudah mengusulkan ke pemerintah, meminta cetak sawah. Tapi tidak ada respon,"

Selain bercocok tanam ada sebagian warga setempat yang menjalankan usaha pengrajin rotan. Salah satunya Bardin. Pria 68 tahun ini membuat tikar dengan rotan sepanjang 3 meter, lebar 2 meter.

Proses pembuatan selesai selama satu bulan. Kemudian dijual ke daerah Banjarmasin seharga Rp 1 juta. "Sebenarnya terlalu murah sih. Karena rumit," kata anak ketiga Bardin, Ita, 30, dari empat bersaudara.

Sama halnya yang dilakukan warga lainnya Nurjanah, 44, atau mama Ubi. Namun dia lebih memilih membuat tas bermotif. Pasarannya ke daerah Palangka Raya dengan harga Rp 100 ribu per tas.

"Sehari semalam jadi. Ini dikerjakan ketika ada waktu luang. Setelah selesai kita kirim ke Palangka Raya. Disana sudah ada pelanggan kita," ucapnya. (BUDI YULIANTO/N).

Berita Terbaru