Aplikasi Pilkada / Software Pilkada Terbaik Untuk memenangkan Pilkada 2020

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Dua Staf Khusus Eks Menteri KP Edhy Prabowo Divonis 4,5 Tahun Penjara

  • Oleh ANTARA
  • 15 Juli 2021 - 17:55 WIB

BORNEONEWS, Jakarta - Andreau Misanta Pribadi dan Safri selaku dua orang staf khusus mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo divonis 4,5 tahun penjara ditambah denda Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan karena terbukti menerima suap bersama-sama bekas atasannya.

"Mengadili menyatakan terdakwa 1 Andreau Misanta Pribadi dan terdakwa 2 Safri terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama sebagaimana dakwaan alternatif pertama. Menjatuhkan pidana kepada para terdakwa dengan pidana penjara masing-masing selama 4 tahun dan 6 bulan dan denda sejumlah Rp300 juta dengan ketentuan bila denda tidak dibayar diganti pidana kurungan selama 6 bulan," kata Ketua Majelis Hakim Albertus Usada di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.

Vonis tersebut sama dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK yang meminta agar Edhy Prabowo divonis 4,5 tahun penjara ditambah denda Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan.

Andreau dan Safri dinyatakan terbukti melakukan Pasal 12 huruf a UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.

"Keadaan memberatkan, perbuatan para terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi, para terdakwa yaitu Andreau Misanta Pribadi dan Safri selaku staf khusus Menteri Kelautan dan Perikanan RI tidak memberikan teladan dalam melakukan tugasnya dalam membantu saksi Edhy Prabowo selaku menteri Kelautan dan Perikanan," tambah hakim Albertus.

Sementara hal yang meringankan para terdakwa bersikap sopan di persidangan serta belum pernah dihukum.

"Seluruh aset terdakwa 1 Andreau Misanta Pribadi telah disita untuk pemulihan hasil korupsi sedangkan terdakwa 2 Safri telah mengembalikan uang suap yang diterimanya," ungkap hakim Albertus.

Dalam perkara ini, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dinyatakan terbukti menerima suap senilai 77 ribu dolar AS dan Rp24.625.587.250 bersama-sama dengan Andreau Misanta Pribadi dan Safri (staf khusus Edhy Prabowo), Amiril Mukminin (sekretaris pribadi Edhy), Ainul Faqih (sekretaris pribadi Iis Rosita Dewi yaitu istri Edhy Prabowo) dan Siswadhi Pranoto Loe (pemilik PT Aero Cipta Kargo) dari Direktur PT Duta Putra Perkasa Pratama Suharjito dan perusahaan pengekspor BBL lain.

Rincian penerimaan suap adalah Edhy Prabowo menerima uang sejumlah 77 ribu dolar AS dari Suharjito dan menerima Rp24.625.587.250 dari pengusaha lainnya.

Selanjutnya Safri menerima uang 26 ribu dolar AS, Siswadhi Pranoto Loe menerima totalnya Rp13.199.689.193, Andreau Misanta Pribadi menerima Rp10.731.932.722 dan Amiril Mukminin menerima Rp2.369.090.000

Edhy selaku Menteri KP ingin memberikan izin pengelolaan dan budidaya lobster dan ekspor BBL dengan menerbitkan Peraturan Menteri KKP No 12/PERMEN-KP/2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp) dan Rajungan (Portunus spp) di wilayah NKRI pada 4 Mei 2020.

Edhy Prabowo pada 14 Mei 2020 lalu menerbitkan keputusan menteri tentang pembentukan Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster (Panulirus spp) dengan menunjuk Andreau Misanta selaku Ketua dan Safri selaku Wakil Ketua. Tugas tim itu adalah memeriksa kelengkapan dan validitas dokumen yang diajukan oleh perusahaan calon pengekspor BBL.

Pada 10 Juni 2020, Amiril Mukminin dan Andreau Misanta meminta Deden untuk memasukkan nama Nursan dan Amir yaitu teman dekat dan representasi Edhy ke dalam kepengurusan PT ACK dan membuat perubahan saham yaitu Nursan yang kemudian diganti posisinya oleh Achmad Bahtiar selaku komisaris dan mendapat saham 41,65 persen; Amri selaku Direktur Utama mendapat 40,65 persen; Yudi Surya Atmaja selaku representasi PT PLI mendapat 16,7 persen dan PT Dentras Interkargo Perkasa mendapat 1 persen.

Padahal kenyataanya Nursan, Achmad Bachtiar dan Amri hanya dipinjam namanya sebagai pengurus perusahaan (nominee) serta tidak memiliki saham di PT ACK.

Berita Terbaru