Aplikasi Pilkada / Software Pilkada Terbaik Untuk memenangkan Pilkada 2020

IT Konsultan Terbaik Indonesia

Benarkah Kisruh BLH Hanya karena Absen

  • 17 April 2016 - 20:52 WIB

KONFLIK internal aparatur sipil negara (ASN) dengan Kepala BLH Kotawaringin Barat (Kobar), Fahrizal Fitri belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Bupati Kobar Bambang Purwanto sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) belum mengambil keputusan resmi atas polemik ini. Namun, jika kita mengikuti  pemberitaan di media massa dalam dua pekan terakhir,  ada yang janggal dalam memahami konflik internal BLH Kobar ini. 

Awalnya, 30 ASN mogok kerja sebagai bentuk protes atas kebijakan Kepala BLH yang menerapkan empat kali absensi dan sanksi berupa pemotongan tunjangan kinerja 4 % atas keterlambatan. Para peserta aksi beralasan aturan tersebut diskriminatif karena tidak diterapkan pada SKPD (satuan perangkat kerja daerah) lainnya. 

Jika tetap dipaksakan, para ASN menuntut aturan sama diberlakukan bagi seluruh SKPD. Dalam perkembangannya, para ASN bersedia berhenti mogok dengan syarat Kepala BLH diganti (Borneonews, 13/4/2016).  

Sementara itu, Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kobar menilai kebijakan tersebut sudah sesuai aturan, dan mengancam akan memberikan sanksi kepada para ASN yang melakukan mogok kerja. Pemkab bahkan membentuk tim terpadu, yang terdiri dari sekda, inspektorat, bagian hukum dan BKD Kobar untuk menyelidiki kasus ini. Sebaliknya, Bupati Kobar justru memenuhi tuntutan para ASN dengan menon-jobkan (membebastugaskan) Kepala BLH sementara waktu. 

Setumpuk tanda tanya

Mencermati alur cerita di atas, setumpuk tanda tanya muncul. Coba renungkan sejenak, rasanya sulit dicerna akal sehat jika para ASN sampai berani mogok kerja hanya karena tidak setuju dengan kebijakan kepala BLH yang menerapkan empat kali absensi (finger print) sehari. Lebih tidak logis lagi, aksi mogok disertai tuntutan pergantian kepala BLH. 

Jika yang menjadi persoalan produk kebijakan (administrasi), cukup aturan tersebut yang direvisi, dan tidak merembet ke persoalan kepemimpinan. Kebijakan pemkab yang membentuk tim terpadu untuk menyelidiki kasus ini terlalu berlebihan, jika substansi persoalan hanya masalah aturan absen. 

Dari sisi keadilan, muncul pertanyaan, dosa besar apa yang dilakukan Kepala BLH sampai harus mendapat 'skorsing' Bukankah kebijakan absensi 4 kali untuk menegakkan aturan disiplin ASN, dan sah karena memiliki landasan hukum yang kuat Pada saat bersamaan, kita patut bertanya bagaimana mungkin Bupati Kobar dapat bertindak gegabah dengan menon-jobkan Kepala BLH 

Secara logika hukum, semestinya Bupati Kobar mendukung kebijakan disiplin, bukannya menjatuhkan skorsing Kepala BLH. Tindakan kontroversial Bupati Kobar yang memberikan skorsing sama artinya membenarkan aksi mogok para ASN, dan menilai kebijakan Kepala BLH keliru. 

Seyogyanya, penyelesaian terhadap konflik BLH--jika benar substansinya menyangkut aturan absensi--tidak serumit saat ini. Bupati cukup mengeluarkan kebijakan aturan absensi dan sanksi yang sama pada seluruh SKPD untuk menegakkan disiplin ASN dan memenuhi rasa keadilan yang dituntut oleh para ASN di BLH. Masalah selesai dan tidak perlu berbelit-belit. Titik. 

Masalah lebih kompleks

Penulis menduga masalah yang terjadi jauh lebih kompleks dan tidak sesederhana yang tampak di permukaan. Tanpa bermaksud memprovokasi, sangat mungkin persoalan absensi hanya puncak dari gunung masalah yang jauh lebih besar dan menjadi penyebab utama mogok kerja itu. Dengan kata lain, terdapat rentetan masalah yang menumpuk dan menimbulkan distrust (ketidakpercayaan) para ASN terhadap kepemimpinan Kepala BLH.  

Di sinilah peran media untuk mengungkap realitas di balik fakta yang tampak. Hal ini penting agar konstruksi masalah dapat dipahami secara utuh dan tidak sepotong-sepotong. Dengan demikian, publik tidak salah kaprah, semakin cerdas dan dapat bersikap secara benar dalam menilai peristiwa ini.  

Memang untuk bisa mengungkap akar masalahnya tidak semudah yang dibayangkan. Terlebih lagi, watak birokrasi yang memiliki sifat tertutup karena menyangkut kepentingan, keamanan dan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Terdapat irisan informasi dan peristiwa yang memang bersifat rahasia terkait dengan kebijakan, jabatan dan pekerjaan. 

Point terakhir itu bisa dimaklumi karena jika seluruh fakta terungkap, dikhawatirkan menimbulkan gejolak politik, instabilitas keamanan dan keresahan sosial secara meluas. Akan lebih baik jika masalah ini menjadi konsumsi di internal birokrasi. Hal ini agar tidak menimbulkan praduga dan fitnah yang tidak berdasar. Toh, pemerintah sendiri sudah memiliki mekanisme internal dalam mengatasi persoalan yang terjadi. 

Meski demikian, publik dan media semestinya tetap bersikap kritis dan mengawal hingga akhir apa yang menjadi keputusan final bupati dalam mengakhiri konflik BLH. Hal yang sama juga berlaku bagi setiap kebijakan pemerintah daerah dalam pengaturan urusan publik dan pemerintahan.

Momentum perbaikan

Selain itu, kasus ini diharapkan dapat menjadi momentum strategis bagi bupati untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap regulasi disiplin dan jenjang karier ASN. Perlu dilakukan tinjauan ulang terhadap berbagai ketentuan yang ada apakah sudah berjalan secara benar. Jika tidak, mengapa hal itu bisa terjadi, dan kendala-kendala apa saja yang muncul dalam pelaksanaannya.

Jangan sampai, sebuah regulasi diterapkan namun menjadi macan ompong karena tidak acceptable dengan kondisi di lapangan. 

Adapun terkait jenjang karier ASN, pemilihan pejabat daerah oleh bupati/gubernur/walikota hendaknya mengedepankan profesionalitas, senioritas, jenjang kepangkatan, pendidikan dan aturan terkait. Sudah menjadi rahasia umum di kalangan birokrasi bahwa jabatan karier PNS saat ini tidak lagi mempertimbangkan DUK (daftar urut kepangkatan), melainkan menggunakan 'DUK' (daftar urut kedekatan) yang lebih didasarkan pada pertimbangan politik, ekonomi atau kekeluargaan. Di berbagai daerah, lazim terjadi sejumlah pegawai yang tiba-tiba menduduki jabatan penting (eselon II atau III), meski belum saatnya untuk menjabat. 

Padahal, regulasi jenjang karir pegawai berdasarkan DUK dan aturan terkait disusun pemerintah untuk memastikan pegawai tersebut layak dan memiliki kecakapan menjalankan suatu jabatan. Bukan hanya dari sisi kemampuan, namun juga memiliki kematangan dari sisi emosi dan sikap/perbuatan. 

Muhammad Zaid 

Praktisi Kebijakan Publik, tinggal di Pangkalan Bun


TAGS:

Berita Terbaru